PEKALONGAN KOTA PEJUANG
Kamis, 03 Oktober 2019
Add Comment
Tempat ini sebelum di bangun Masjid Asy Syuhada' |
peristiwa 3 Oktober 1945 di Pekalongan
jam tujuh pagi matahari bersinar membakar semangat ribuan orang yang telah menyemut memadati lapangan Kebon Rojo di seberang markas Kempeitai. Mereka datang bersenjata apa saja, keris, pedang, parang, tongkat besi dan bambu runcing, sambil berteriak ‘merdeka!’, ‘merdeka atau mati’, serta seruan takbir yang tiada henti.
Djunaid berdiri di barisan depan di sebelah kiri Kiai Syafi’i dan Kiai
Siraj, memandang lurus pintu masuk markas Kempeitai. Tangan kanannya
memegang tangkai keris yang terselip dipinggang kirinya. Di belakang
mereka puluhan anak muda santri Kiai Syafi’i dan Kiai Siraj bersiaga,
berpakaian sederhana dengan sarung yang diselempangkan.
Di sebelah mereka sekelompok anak muda mengikatkan merah putih di kepala, beberapa diantaranya memanggul senjata jenis AK II, mereka tampak tenang, tidak ada teriakan yang keluar dari mulut mereka, namun mereka selalu siaga menunggu komando pimpinan mereka, Margono Jenggot.
Ada juga kelompok yang dipimpin Syaichu, Tari, Abdul Kadir, Aziz Basara’il, Agus Sutarto, Huzer Amin, Tarbin, Sanip, Trimo, Umar dan Fadholi, mereka berbaris rapi di depan markas Kempeitai. Sohir yang datang dari Comal dengan senjata cangkul dan sabit serta Kelompok dari Batang yang berpakaian hitam-hitam bersiaga di sisi utara dan selatan. Kelompok-kelompok yang terkoordinir dan memiliki pimpinan tampak berbaris rapi, dan anggota masyarakat lain yang jumlahnya ribuan berbaur di belakang mereka baik laki-laki maupun perempuan.
Pukul 09.45 dari arah utara rombongan delegasi Indonesia datang berjalan kaki menuju markas Kempeitai. Tampak Mister Besar berjalan di urutan paling depan, diapit Dr. Sumbadji dan Dr. Ma’as. Di belakanya terlihat R. Suprapto, Kadir Bakri dan Jauhar Arifin. Kedatangan mereka dielu-elukan masa dengan teriakan ‘Hidup Republik Indonesia, jangan mundur dari tuntutan, hidup wakil-wakil rakyat Pekalongan.’
Saat melihat rombongan delegasi Indonesia datang, masyarakat yang awalnya berbaris rapi menjadi bubar, mereka merangsek mendekati rombongan, ada yang menyalami bahkan mengantar rombongan sampai ke pintu gerbang Markas Kempeitai dengan sorakan dan teriakan massa ‘Jangan mau ditawar, jangan mundur dari tuntutan, berhasillah kami menunggu, kami tidak akan bubar sebelum bapak-bapak kembali, kembalilah dengan selamat‘.
Teriakan-teriakan mereka membuat suasana panas dan tak terkendali. Seorang pemuda keturunan Arab menghampiri Margono Jenggot.
“Mas Margono, ini bahaya Mas, mereka bisa jadi sasaran tembak tentara Jepang, lihat itu, tentara Jepang bersiaga dengan senjatanya di pintu masuk gedung.” Kata Aziz Basara’il pada Margono Jenggot sambil menunjuk.
“Ya, aku juga berpikir seperti kamu. Coba sampaikan pada Kiai Syafi’i dan kelompok yang lainnya agar mereka mencegah teman-teman kita mendekat markas Kempeitei, akan kuperintahkan anak buahku menarik mereka menjauhi Kempeitei, yang lain tetap siaga.” Ucap Margono Jenggot.
“Siap Mas.” Jawab Aziz Basara’il.
Aziz Basara’il berlari menghampiri Djunaid, meminta tolong memberikan informasi pada pemimpin barisan yang lainnya agar menjaga barisannya. “Pasukan Margono Jenggot akan mengatasi rakyat yang mendekati gerbang markas Kempeitai, yang lain tetap siaga agar barisan tidak kacau.”
“Baik, Ziz.” Kata Djunaid segera bertindak.
Anak buah Margono Jenggot segera menahan orang-orang di gerbang yang berebut ikut masuk ke markas Kempeitei agar kembali ke dalam barisan.
Diantara keributan itu tampak seorang pemuda yang membawa bendera merah putih yang diikatkan pada tongkat bambu seukuran tubuh mereka, menarik tangan temannya menjauhi kerumunan, pemuda itu berbisik, ”Kau lihat Bismo, di atas markas Kempeitei itu masih berkibar bendera Jepang.”
“Setan jahanam! Jepang mau menipu kita Rahayu.” Suara Bismo menggeram.
“Apa yang harus kita lakukan, Bismo?” tanya Rahayu.
“Ssttt, ikut aku. Lepaskan benderamu.”
Rahayu melepaskan bendera yang diikatkan pada tongkat yang dibawanya, lalu Bismo menarik tangan Rahayu berjalan perlahan menjauhi kerumunan menuju kampung kecil di sebelah utara markas Kempeitei.
Mister Besar bersama rombongan telah masuk ke dalam markas, rakyat kembali berkumpul dalam barisan.
*****
Di sebuah ruang kosong kantor Syucho, tak jauh dari markas Kempeitei, sekelompok pemuda Indonesia telah menyandra 15 orang Jepang. Para pemuda tersebut mengancam akan membunuh orang-orang Jepang yang mereka sekap bila perundingan gagal.
*****
Jam dinding kayu di dalam markas Kempeitei berdenting sepuluh kali, perundinganpun dimulai. Meja perundingan ditata menyerupai huruf U. Pihak Jepang duduk dalam satu baris menghadap ke barat, mereka adalah Syuchokan Tokonomi, Kempeitaidan Kawabata, Staf Kempeitei Hayashi dan Harizumi si penterjemah bahasa. Sedangkan pihak Indonesia terbagi dalam dua baris terdiri dari baris utara dan baris selatan. Deret utara duduk Mister Besar, Dr. Sumbadji dan Dr. Ma’as, sedangkan deretan sebelah selatan berturut-turut R. Suprapto, A. Kadir Bakri dan Jauhar Arifin.
Mister Besar membuka perundingan dengan terlebih dahulu memperkenalkan delegasi Indonesia, kemudian mengemukakan maksud dan tujuan mengadakan perundingan dengan pihak Jepang.
Syuchokan Tokonomi mengangguk sambil tersenyum, matanya yang sipit menyapu wajah-wajah anggota delegasi Indonesia. Kempeitaidan Kawabata yang duduk di sebelah Syuchokan Tokonomi menyambut dengan senyum sinis, tubuhnya yang pendek gempal dan matanya yang nampak hanya sebuah garis saja menyiratkan sikap yang tak bersahabat. Takonomi bertanya mengapa pihak Indonesia datang dengan membawa massa yang banyak.
“Indonesia datang membawa banyak pasukan seperti mau mengajak perang saja.” Ujar Kawabata menimpali kesinisan Takonomi.
“Mereka rakyat Pekalongan yang hanya ingin menyaksikan pemindahan kekuasaan, karena peristiwa perundingan ini adalah tindak lanjut proklamasi kemerdekaan, yakni terlaksananya pemindahan kekuasaan pemerintah dari tangan Jepang kepada pihak Indonesia dengan damai, kami
bangsa Indonesia tidak menginginkan terjadi insiden yang dapat mengorbankan jiwa.” Jawab Dr. Sumbadji.
Mendengar jawaban Dr. Sumbadji, Kempeitaidan Kawabata dan Hayashi saling berbisik. Namun delegasi Indonesia tidak mau terpengaruh dengan tingkah Kempeitaidan Kawabata dan Hayashi. Karena menginginkan perundingan cepat selesai. Dr. Sumbadji langsung membacakan tiga pasal tuntutan, yaitu; Pemindahan kekuasaan dilaksanakan dengan damai dan secepatnya; Penyerahan senjata dari tangan Jepang adalah semua senjata yang ada ditangan Jepang baik yang ada di Kempeitai, Keibitei, maupun Jepang Sakura kepada pihak Indonesia; dan Memberikan jaminan pada pihak Jepang bahwa mereka akan dilindungi, diperlakukan dengan baik, dan dikumpulkan menjadi satu di Markas Keibitei.
“Ya, ya, ya, Tentara Nippon sudah mendengar proklamasi yang dibacakan Soekarno di Jakarta, namun di daerah ini pemerintah Dai Nippon tidak bisa menerima keinginan pihak Indonesia karena Dai Nippon masih berkewajiban menjaga status quo yang ada, untuk kepentingan keamanan dan ketentraman rakyat. Kami memahami tuntutan dari pihak Indonesia, tetapi kami terikat dengan Sekutu, sebelum ada perintah dari Dai Nippon di Jakarta, kami masih bertanggungjawab mempertahankan status quo.” Jawab Tokonomi tegas.
“Sebenarnya soal pemindahan kekuasaan sudah tidak ada persoalan lagi, karena Jendral Terauchi telah berjanji waktu bertemu Bung Karno dan mengakui kemerdekaan Indonesia, bukankah sekarang sudah tepat pada waktunya ?” sanggah Dr. Ma’as.
Perundingan semakin alot, kedua pihak saling beradu argumentasi. Saat Harizumi sedang menterjemahkan pembicaraan Dr Sumbadji, tiba-tiba pintu ruang perundingan diketuk, seorang Kempeitai masuk memberikan hormat dengan cara membungkuk. Belum sempat dia melaporkan sesuatu, tiba-tiba terdengar letusan senjata dari luar disusul teriakan serbu berulang-ulang.
“Siapa yang menembakkan senjata!” teriak Mister Besar.
“Ini pasti siasat Jepang.” Kadir Bakri geram, ia mengajak delegasi Indonesia menyelamatkan diri, mereka berlari melalui tembok samping kanan menerobos masuk ruang kantor Karesidenan. Syuchokan Tokonomi, Kempeitaidan Kawabata, Hayashi dan Harizumi juga berlari menuju ruang lain dalam markas Kempeitei. Perundingan menjadi bubar tidak membawa hasil, suasana berubah menjadi kacau, rupanya Jepang sudah membuat siasat, dari dalam gedung mereka melepaskan tembakan dengan senapan mesin sehingga rakyat kacau balau dan korban-korban berjatuhan. Akan tetapi rakyat tidak mau mengalah begitu saja. Di luar gedung, suara tembak-menembak bersahutan antara rakyat di luar gedung dan pihak Kempeitai, disusul rentetan bunyi metraliur dan teriakan takbir, markas Kempeitai dikepung rapat oleh rakyat.
Rakyat yang berkumpul di
Kebon Rojo marah, mereka mengepung markas Kempeitei meski menjadi
sasaran tembakan senapan mesin Kempeitai. Amarah mereka meluap dan tanpa
komando langsung menyerbu markas, melalui pintu masuk, memanjat tembok
keliling gedung, menaiki atap gedung dengan tujuan menghancurkan dan
merampas senjata Jepang meski senjata yang mereka bawa seadanya. Pasukan
Margono Jenggot, Kiai Syafi’i dan Kiai Siraj merangsek masuk markas,
membunuh setiap tentara Jepang yang dijumpainya, namun banyak pula yang
mati terkoyak peluru senapan tentara Jepang. Perlawanan yang tak
seimbang berlangsung sekitar satu jam. Kempeitai banjir darah.
Djunaid bersama Singgih, Kuswadi, Suharjo dan Sarino menerobos kawat
berduri di markas Kempeitei, mereka masuk mencari delegasi Indonesia,
ingin Mister Besar dan rombongannya selamat. Namun ruang perundingan
telah sepi, Djunaid dan kawan-kawannya justru terjebak tak bisa keluar
dari ruang itu.
Di atas gedung markas Kempeitei, dengan keberaniannya Rahayu dan Bismo merobek bendera Jepang, lalu menggantinya dengan bendera merah putih sebagai tanda Indonesia telah merdeka. Dua peluru yang dilepaskan tentara Jepang seketika bersarang di tubuh Rahayu dan Bismo, mereka terjatuh dengan tangan tetap menggenggam merah putih sang saka.
*****
15 orang Jepang yang disandera sekelompok pemuda di ruang kosong kantor Syucho, dibunuh tanpa kenal ampun. Darah segar membasahi lantai diantara gelimpangan mayat-mayat orang Jepang, bau anyir memenuhi ruangan.
*****
Setelah pertempuran yang tidak seimbang itu reda, rakyat membubarkan diri. Korban bergelimpangan di sekitar Markas Kempeitai. Ada yang terluka dan banyak yang mati. Suasana menjadi sunyi, hanya ada beberapa anggota Kempeitai yang berjaga-jaga di luar markas dengan bayonet terhunus. Beberapa orang pejuang menjadi tawanan Jepang, diantara mereka tampak Suhardjo, Sudjono, Kuswadi, Singgih, Sarino dan Djunaid.
*****
Malam harinya suasana di kota Pekalongan sangat mencekam, orang-orang tak berani keluar rumah, mereka khawatir bila Kempeitai membalas dendam terhadap rakyat Pekalongan. Diam-diam para pemuda berjalan mengendap mendekati markas Kempeitai, memotong kabel mematikan aliran listrik, telepon, serta air minum yang mengalir ke markas Kempeitei.
Beberapa hari kemudian setelah mendapat bantuan dari Eks Daidancho Sudirman (Jenderal Sudirman) serta karena kesulitan mendapatkan listrik, air minum dan telepon yang dimatikan para pemuda, Jepang akhirnya mengibarkan bendera putih. Para tawanan-pun dibebaskan, mereka dapat kembali berkumpul bersama keluarga, orang tua, istri dan anak-anaknya.
*****
Sesampai di rumah, Ummi Solechah memeluk suaminya dengan erat, ada air mata sebening kristal yang mengalir dipipinya. TangiIs bahagia Ummi Solechah untuk orang yang dicintainya, karena mereka dapat berkumpul kembali bersama.
“Ini perjuangan kita Chah, penuh resiko dan penderitaan. Aku ikut berdosa jika aku diam saja, aku harus membantu bangsa ini mewujudkan kemerdekaannya, aku harus menjaga kesucian sang saka merah putih agar tetap mulia berkibar di bumi Indonesia, semoga kamu ikhlas memiliki suami sepertiku.” Bisik Djunaid.
“Insya Allah, aku ikhlas dengan perjuangan bapak.” pelukan Ummi Solechah semakin kuat, dan tangisnya telah berhenti menjadi senyuman.
dikutip dari: Ibnu Novel Hafidz
Di sebelah mereka sekelompok anak muda mengikatkan merah putih di kepala, beberapa diantaranya memanggul senjata jenis AK II, mereka tampak tenang, tidak ada teriakan yang keluar dari mulut mereka, namun mereka selalu siaga menunggu komando pimpinan mereka, Margono Jenggot.
Ada juga kelompok yang dipimpin Syaichu, Tari, Abdul Kadir, Aziz Basara’il, Agus Sutarto, Huzer Amin, Tarbin, Sanip, Trimo, Umar dan Fadholi, mereka berbaris rapi di depan markas Kempeitai. Sohir yang datang dari Comal dengan senjata cangkul dan sabit serta Kelompok dari Batang yang berpakaian hitam-hitam bersiaga di sisi utara dan selatan. Kelompok-kelompok yang terkoordinir dan memiliki pimpinan tampak berbaris rapi, dan anggota masyarakat lain yang jumlahnya ribuan berbaur di belakang mereka baik laki-laki maupun perempuan.
Pukul 09.45 dari arah utara rombongan delegasi Indonesia datang berjalan kaki menuju markas Kempeitai. Tampak Mister Besar berjalan di urutan paling depan, diapit Dr. Sumbadji dan Dr. Ma’as. Di belakanya terlihat R. Suprapto, Kadir Bakri dan Jauhar Arifin. Kedatangan mereka dielu-elukan masa dengan teriakan ‘Hidup Republik Indonesia, jangan mundur dari tuntutan, hidup wakil-wakil rakyat Pekalongan.’
Saat melihat rombongan delegasi Indonesia datang, masyarakat yang awalnya berbaris rapi menjadi bubar, mereka merangsek mendekati rombongan, ada yang menyalami bahkan mengantar rombongan sampai ke pintu gerbang Markas Kempeitai dengan sorakan dan teriakan massa ‘Jangan mau ditawar, jangan mundur dari tuntutan, berhasillah kami menunggu, kami tidak akan bubar sebelum bapak-bapak kembali, kembalilah dengan selamat‘.
Teriakan-teriakan mereka membuat suasana panas dan tak terkendali. Seorang pemuda keturunan Arab menghampiri Margono Jenggot.
“Mas Margono, ini bahaya Mas, mereka bisa jadi sasaran tembak tentara Jepang, lihat itu, tentara Jepang bersiaga dengan senjatanya di pintu masuk gedung.” Kata Aziz Basara’il pada Margono Jenggot sambil menunjuk.
“Ya, aku juga berpikir seperti kamu. Coba sampaikan pada Kiai Syafi’i dan kelompok yang lainnya agar mereka mencegah teman-teman kita mendekat markas Kempeitei, akan kuperintahkan anak buahku menarik mereka menjauhi Kempeitei, yang lain tetap siaga.” Ucap Margono Jenggot.
“Siap Mas.” Jawab Aziz Basara’il.
Aziz Basara’il berlari menghampiri Djunaid, meminta tolong memberikan informasi pada pemimpin barisan yang lainnya agar menjaga barisannya. “Pasukan Margono Jenggot akan mengatasi rakyat yang mendekati gerbang markas Kempeitai, yang lain tetap siaga agar barisan tidak kacau.”
“Baik, Ziz.” Kata Djunaid segera bertindak.
Anak buah Margono Jenggot segera menahan orang-orang di gerbang yang berebut ikut masuk ke markas Kempeitei agar kembali ke dalam barisan.
Diantara keributan itu tampak seorang pemuda yang membawa bendera merah putih yang diikatkan pada tongkat bambu seukuran tubuh mereka, menarik tangan temannya menjauhi kerumunan, pemuda itu berbisik, ”Kau lihat Bismo, di atas markas Kempeitei itu masih berkibar bendera Jepang.”
“Setan jahanam! Jepang mau menipu kita Rahayu.” Suara Bismo menggeram.
“Apa yang harus kita lakukan, Bismo?” tanya Rahayu.
“Ssttt, ikut aku. Lepaskan benderamu.”
Rahayu melepaskan bendera yang diikatkan pada tongkat yang dibawanya, lalu Bismo menarik tangan Rahayu berjalan perlahan menjauhi kerumunan menuju kampung kecil di sebelah utara markas Kempeitei.
Mister Besar bersama rombongan telah masuk ke dalam markas, rakyat kembali berkumpul dalam barisan.
*****
Di sebuah ruang kosong kantor Syucho, tak jauh dari markas Kempeitei, sekelompok pemuda Indonesia telah menyandra 15 orang Jepang. Para pemuda tersebut mengancam akan membunuh orang-orang Jepang yang mereka sekap bila perundingan gagal.
*****
Jam dinding kayu di dalam markas Kempeitei berdenting sepuluh kali, perundinganpun dimulai. Meja perundingan ditata menyerupai huruf U. Pihak Jepang duduk dalam satu baris menghadap ke barat, mereka adalah Syuchokan Tokonomi, Kempeitaidan Kawabata, Staf Kempeitei Hayashi dan Harizumi si penterjemah bahasa. Sedangkan pihak Indonesia terbagi dalam dua baris terdiri dari baris utara dan baris selatan. Deret utara duduk Mister Besar, Dr. Sumbadji dan Dr. Ma’as, sedangkan deretan sebelah selatan berturut-turut R. Suprapto, A. Kadir Bakri dan Jauhar Arifin.
Mister Besar membuka perundingan dengan terlebih dahulu memperkenalkan delegasi Indonesia, kemudian mengemukakan maksud dan tujuan mengadakan perundingan dengan pihak Jepang.
Syuchokan Tokonomi mengangguk sambil tersenyum, matanya yang sipit menyapu wajah-wajah anggota delegasi Indonesia. Kempeitaidan Kawabata yang duduk di sebelah Syuchokan Tokonomi menyambut dengan senyum sinis, tubuhnya yang pendek gempal dan matanya yang nampak hanya sebuah garis saja menyiratkan sikap yang tak bersahabat. Takonomi bertanya mengapa pihak Indonesia datang dengan membawa massa yang banyak.
“Indonesia datang membawa banyak pasukan seperti mau mengajak perang saja.” Ujar Kawabata menimpali kesinisan Takonomi.
“Mereka rakyat Pekalongan yang hanya ingin menyaksikan pemindahan kekuasaan, karena peristiwa perundingan ini adalah tindak lanjut proklamasi kemerdekaan, yakni terlaksananya pemindahan kekuasaan pemerintah dari tangan Jepang kepada pihak Indonesia dengan damai, kami
bangsa Indonesia tidak menginginkan terjadi insiden yang dapat mengorbankan jiwa.” Jawab Dr. Sumbadji.
Mendengar jawaban Dr. Sumbadji, Kempeitaidan Kawabata dan Hayashi saling berbisik. Namun delegasi Indonesia tidak mau terpengaruh dengan tingkah Kempeitaidan Kawabata dan Hayashi. Karena menginginkan perundingan cepat selesai. Dr. Sumbadji langsung membacakan tiga pasal tuntutan, yaitu; Pemindahan kekuasaan dilaksanakan dengan damai dan secepatnya; Penyerahan senjata dari tangan Jepang adalah semua senjata yang ada ditangan Jepang baik yang ada di Kempeitai, Keibitei, maupun Jepang Sakura kepada pihak Indonesia; dan Memberikan jaminan pada pihak Jepang bahwa mereka akan dilindungi, diperlakukan dengan baik, dan dikumpulkan menjadi satu di Markas Keibitei.
“Ya, ya, ya, Tentara Nippon sudah mendengar proklamasi yang dibacakan Soekarno di Jakarta, namun di daerah ini pemerintah Dai Nippon tidak bisa menerima keinginan pihak Indonesia karena Dai Nippon masih berkewajiban menjaga status quo yang ada, untuk kepentingan keamanan dan ketentraman rakyat. Kami memahami tuntutan dari pihak Indonesia, tetapi kami terikat dengan Sekutu, sebelum ada perintah dari Dai Nippon di Jakarta, kami masih bertanggungjawab mempertahankan status quo.” Jawab Tokonomi tegas.
“Sebenarnya soal pemindahan kekuasaan sudah tidak ada persoalan lagi, karena Jendral Terauchi telah berjanji waktu bertemu Bung Karno dan mengakui kemerdekaan Indonesia, bukankah sekarang sudah tepat pada waktunya ?” sanggah Dr. Ma’as.
Perundingan semakin alot, kedua pihak saling beradu argumentasi. Saat Harizumi sedang menterjemahkan pembicaraan Dr Sumbadji, tiba-tiba pintu ruang perundingan diketuk, seorang Kempeitai masuk memberikan hormat dengan cara membungkuk. Belum sempat dia melaporkan sesuatu, tiba-tiba terdengar letusan senjata dari luar disusul teriakan serbu berulang-ulang.
“Siapa yang menembakkan senjata!” teriak Mister Besar.
Peringatan Peristiwa 3 oktober 1945 |
“Ini pasti siasat Jepang.” Kadir Bakri geram, ia mengajak delegasi Indonesia menyelamatkan diri, mereka berlari melalui tembok samping kanan menerobos masuk ruang kantor Karesidenan. Syuchokan Tokonomi, Kempeitaidan Kawabata, Hayashi dan Harizumi juga berlari menuju ruang lain dalam markas Kempeitei. Perundingan menjadi bubar tidak membawa hasil, suasana berubah menjadi kacau, rupanya Jepang sudah membuat siasat, dari dalam gedung mereka melepaskan tembakan dengan senapan mesin sehingga rakyat kacau balau dan korban-korban berjatuhan. Akan tetapi rakyat tidak mau mengalah begitu saja. Di luar gedung, suara tembak-menembak bersahutan antara rakyat di luar gedung dan pihak Kempeitai, disusul rentetan bunyi metraliur dan teriakan takbir, markas Kempeitai dikepung rapat oleh rakyat.
Peserta peringatan 3 oktober 1945 |
Di atas gedung markas Kempeitei, dengan keberaniannya Rahayu dan Bismo merobek bendera Jepang, lalu menggantinya dengan bendera merah putih sebagai tanda Indonesia telah merdeka. Dua peluru yang dilepaskan tentara Jepang seketika bersarang di tubuh Rahayu dan Bismo, mereka terjatuh dengan tangan tetap menggenggam merah putih sang saka.
*****
15 orang Jepang yang disandera sekelompok pemuda di ruang kosong kantor Syucho, dibunuh tanpa kenal ampun. Darah segar membasahi lantai diantara gelimpangan mayat-mayat orang Jepang, bau anyir memenuhi ruangan.
*****
Setelah pertempuran yang tidak seimbang itu reda, rakyat membubarkan diri. Korban bergelimpangan di sekitar Markas Kempeitai. Ada yang terluka dan banyak yang mati. Suasana menjadi sunyi, hanya ada beberapa anggota Kempeitai yang berjaga-jaga di luar markas dengan bayonet terhunus. Beberapa orang pejuang menjadi tawanan Jepang, diantara mereka tampak Suhardjo, Sudjono, Kuswadi, Singgih, Sarino dan Djunaid.
*****
Malam harinya suasana di kota Pekalongan sangat mencekam, orang-orang tak berani keluar rumah, mereka khawatir bila Kempeitai membalas dendam terhadap rakyat Pekalongan. Diam-diam para pemuda berjalan mengendap mendekati markas Kempeitai, memotong kabel mematikan aliran listrik, telepon, serta air minum yang mengalir ke markas Kempeitei.
Beberapa hari kemudian setelah mendapat bantuan dari Eks Daidancho Sudirman (Jenderal Sudirman) serta karena kesulitan mendapatkan listrik, air minum dan telepon yang dimatikan para pemuda, Jepang akhirnya mengibarkan bendera putih. Para tawanan-pun dibebaskan, mereka dapat kembali berkumpul bersama keluarga, orang tua, istri dan anak-anaknya.
*****
Sesampai di rumah, Ummi Solechah memeluk suaminya dengan erat, ada air mata sebening kristal yang mengalir dipipinya. TangiIs bahagia Ummi Solechah untuk orang yang dicintainya, karena mereka dapat berkumpul kembali bersama.
“Ini perjuangan kita Chah, penuh resiko dan penderitaan. Aku ikut berdosa jika aku diam saja, aku harus membantu bangsa ini mewujudkan kemerdekaannya, aku harus menjaga kesucian sang saka merah putih agar tetap mulia berkibar di bumi Indonesia, semoga kamu ikhlas memiliki suami sepertiku.” Bisik Djunaid.
“Insya Allah, aku ikhlas dengan perjuangan bapak.” pelukan Ummi Solechah semakin kuat, dan tangisnya telah berhenti menjadi senyuman.
dikutip dari: Ibnu Novel Hafidz
0 Response to "PEKALONGAN KOTA PEJUANG"
Posting Komentar