KH. AHMAD KHALID GONDANGDIA JAKARTA (1874-1946)
Minggu, 07 April 2019
Add Comment
KH. AHMAD KHALID GONDANGDIA JAKARTA (1874-1946): KYAI NUsantara YANG SANGAT TAWADDU'
KH. Ahmad Khalid, seorang ulama terkemuka asal Gondangdia Jakarta yang lebih dikenal dengan panggilan Guru Khalid. Nama lengkapnya adalah Ahmad Khalid, anak “orang biasa” yang bukan ulama, berasal dari Bogor dan menikah dengan orang Gondangdia. Diantara anggota keluarga Kholid, hanya dialah yang menjadi ulama terkenal. Nama aslinya adalah KH. Mumammad Khalid bin H. Na'idi. Beliau mempunyai istri bernama Hj. Mamnun binti H. Jam'an.
Guru Khalid adalah salah satu dari enam guru utama di Betawi, selain lima guru lainnya yaitu Guru Marzuki, Guru Mughni, Guru Mansyur, Guru Madjid dan Guru Mahmud. Tidak ada referensi mengenai guru-guru mengajinya yang paling awal, tetapi ia diketahui bermukim dan belajar di tanah suci Mekkah selama 11 tahun.
Guru-gurunya di tanah suci antara lain Syaikh Mukhtar Atharid al-Bogori dan Syaikh Umar Bajunaid. Khalid nampaknya sangat mengagumi gurunya, khususnya Mukhtar Atharid, sehingga ketika salah seorang muridnya yang bernama Ya'qub dilihatnya tidak mencapai kemajuan dalam belajar, ia berujar: “Qub lu bebel amat, lu naik haji, ngaji ama Guru Mukhtar di Makkah” (Qub, kamu bodoh sekali, kamu naik haji, mengaji kepada Guru Mukhtar di Makkah). Nasihat itu dituruti dan kelak, Ya'qub yang asal Kebon Sirih itu menjadi ulama terpandang.
Di kalangan ulama Betawi, Guru Khalid dikenal sebagai ahli hadits dan tasawuf. Ia tidak suka banyak bicara dan kalau mengajar ia selalu menghadap kiblat, sementara muridnya duduk membuat lingkaran. Begitu selesai “ta’lim” ia langsung meninggalkan murid-muridnya tanpa basa-basi lagi.
Ia juga dikenal keras terhadap rokok dan mendengar radio. Jika dalam suatu acara Guru Khalid akan diundang, maka bagi mereka yang ingin merokok diusahakan sebelum kedatangannya. Dan ketika datang seluruh asbak rokok sudah harus hilang dari pandangan mata. Demikian pula, ia tidak akan pernah mau masuk rumah yang terdengar di dalamnya terdengar suara radio. Ia juga sangat berhati-hati dalam memberikan fatwa, apalagi menyangkut penentuan masjid untuk shalat Jum’at.
Dalam mencetak ulama, Guru Khalid termasuk berhasil, kendati tidak ada keturunannya yang melanjutkan jejak sang ulama sebagai juru dakwah. Diantara hasil didikannya ialah KH. Yahya Suhaimi yang diangkat mantu oleh Guru Khalid dan sempat meneruskan kegiatan ta’lim sang Guru di mushalla peninggalannya. Menantunya yang lain, Hasan Abdussalam, sebenarnya berbakat pula menjadi juru dakwah, tetapi ia rupanya lebih cenderung menjadi pedagang daripada menjadi kiai.
Muridnya yang lain yang menonjol adaalah Guru Ya’qub dari Kebon Sirih, Guru Ilyas dari Cikini, Guru Najib dari Tanah Abang, Guru Rahab Citayem, KH. Ma’mun Abdul Karim dari Rawabelong, Muallim Thabrani Paseban, KH. Mukhtar Siddik dari Kemayoran, KH. Abdurrrahman dari Bojonggede, KH. Kahmatullah Shidiq dan KH. Syafi’i Hadzami dari Kebayoran Lama.
Ketika wafat di tahun 1946 dalam usia 72 tahun, Guru Khalid dikuburkan di Tanah Abang, di lokasi yang sekarang menjadi rumah susun Perumnas. Sesudah terjadi sedikit pertikaian di antara anggota masyarakat, akhirnya jenazah Guru Khalid dipindah ke pekuburan Karet.
0 Response to "KH. AHMAD KHALID GONDANGDIA JAKARTA (1874-1946)"
Posting Komentar