PePELENG JAWA

“Sura Dira Jayaningrat, Lebur Dening Pangastuti”

DIMENSI SUFI




Maulana Habib Lutfi bersama Syaikh Adnan

Tasawuf dan Islam adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan, sebagaimana halnya nurani dan kesadaran tertinggi yang juga tidak dapat dipisahkan dari Islam. Islam bukanlah sebuah fenomena yang dimulai sejak 1400 tahun yang lampau. Tetapi, ia merupakan suatu kesadaran abadi yang bermakna  penyerahan diri dan ketertundukan [al-inqiyad]. Tasawuf adalah hati Islam yang sudah sangat tua seusia dengan adanya kesadaran manusia.

Kemunculan tasawuf bermula dari abad pertama hijriyah, sebagai bentuk perlawanan terhadap semakin merajalelanya penyimpangan representasi ajaran ajaran Islam "liar" khususnya yang dilakukan oieh para pemimpin zaman tersebut. Pemerintah atau raja seringkali mempergunakan kedok Islam untuk membenarkan tujuan pribadi mereka ataupun membuang sisi-sisi ajaran Islam yang tidak sesuai dengan kehendak ataupun pola hidup mereka yang serba mewah. Sejak masa itu dan seterusnya, sejarah mencatat adanya kebangkitan pembaharuan serta militansi yang kian lama kian mantab di kalangan umat Islam yang tulus, yang kemudian terus meluas ke seluruh dunia Muslim yang begitu bersemangat untuk mengembalikan pesan yang orisinil dan sakral yang dibawa oleh Nabi Muhammad. Seoarang sufi adalah penegak dan penjunjung tinggi pesan-pesan Islam. Bagaimanapun, tasawuf dan Islam sejati adalah satu kesatuan.


Fenomena tersebut merupakan kesadaran spontan pada diri individu-individu Muslim yang tulus untuk menyingkap jalan kenabian sejati yang didorong oleh cahaya nurani dan semangat penghambaan. Cahaya tasawuf terpancar luas tanpa melalui gerakan yang diorganisir dan disentralisasi. Persaudaraan yang mengikat kalangan sufi adalah sebuah realitas tanpa banyak koordinasi maupun organisasi yang bersifat lahiriah. Realitas tersebut adalah kesadaran terhadap ibadah yang ikhlas dan sifat-sifat luhur dalam hati mereka serta adanya kesatuan sikap menerima hukum kenabian yang bersifat lahiriah. Pengikut persaudaraan yang dialami kaum sufi lebih banyak disebabkan kesamaan situasi dan tingkatan hati mereka ketimbang suatu sikap patuh terhadap doktrin-doktrin teologi tertentu, etnis ataupun “penghambaan” terhadap tradisi.

Kesufian adalah wilayah yang menghubungkan dimensi luar (lahiriah) dan realitas yang bersifat fisik dengan dimensi yang tak beruang dan berwaktu (batiniah) yang hanya dialami oleh kedirian sebelah dalam manusia. Seorang sufi hidup laksana puncak gunung es yang tampak di dunia kasat mata. Namun demikian juga memiliki aspek-aspek dunia yang terselubung dan tersembunyi oleh indra yang justru merupakan pondasi dari yang terlihat nyata sekaligus merupakan bentuk realitas lain yang tidak kasat mata. Ia akan melakukan yang terbaik guna memahami hukum-hukum kausal dan kehidupan sebelah luar yang bersifat fisik sekaligus meresapi guna meningkatkan keadaranya terhadap ‘Realitas” sebelah yang “Maha Luas” yang berarti dunia yang diketahui dan tidak, serta menggabungkan realitas yang tampak dengan tidak tampak dan dunia yang beruang dan berwaktu dangan dunia yang tidak beruang dan berwaktu.

Itu sebabnya kehidupan sebelah seorang sufi tanpa ada batasannya. Namun demikian, ia tetap mengakui dan menerima batasan-batasan lahiriah dengan menghormati hukum alam. Seorang sufi sepenuhnya riang dengan kebahagian yang tiada tara dalam jiwanya. Secara lahiriah, dia berjuang ke arah kualitas hidup yang lebih baik di muka bumi dan melakukan yang terbaik tanpa memperhatikan secara berlebih-lebihan terhadap hasil akhir. Perjuangan dan kerja lahir perlu diiringi dengan penjernihan dan penataan hati.

Dari manapun asal sufi, mereka pada esensinya sama, yakni dalam memancarkan cahaya dan kesadaran hati manusia serta penghormatan dan pengabdian secara lahiriah bagi kemanusiaan. Perbedaan yang tampak di antara sufi dengan sufi lainnya hanya pada materi-materi yang berkaitan dengan praktik-praktik spiritual ataupun resep penjernihan hati. Manisnya buah yang diresapi dan dirasakan sufi lainnya tidaklah berbeda. Itu selaksa pohon-pohon yang kelihatannya berbeda dan mungkin berbunga di musim-musim yang berbeda.

*Dikutip dari kata pengantar Prof. Dr. KH. Said Aqiel Siradj dalam buku "22 Aliran Tarekat
dalam Tasawuf"  karya  KH. Abdul Aziz Masyhuri terbitan Imtiyaz.

0 Response to "DIMENSI SUFI"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel