Taat kepada Orang Tua dan Guru sebagai Kunci Dunia dan Akhirat
Senin, 23 Januari 2017
Add Comment
Maulana Hbib Luthfi Bin Yahya |
Sebetulnya Bab wilayah atau kewalian dalam kitab Jami' Ushul fi
al-Auliya adalah hanya untuk pengetahuan kita semua. Dari pelajaran itu
kita ambil poin-poinnya saja. Adapun ahwal (perbuatan) dan amaliah para
wali Allah sulit untuk bisa kita takar.
Jangan ingin menjadi
wali. Tapi yang seharusnya kita lakukan adalah bertanya, apa sebab
beliau diangkat oleh Allah Swt. menjadi waliNya? Sebabnya hanya satu,
yang terdiri dari dua hal, yakni ketaatannya kepada dua orangtua dan
gurunya. Ini yang perlu kita tiru.
Kalau orang awam melakukan
mujahadah malam, ibadah malam, membaca dzikir, membaca ayat sekian,
membaca tasbih sekian, (hal itu dilakukan) menunggu kalau utangnya
banyak, mendapat musibah dan cobaan. Atau (mendapat) sesuatu yang
menjadikan susah pada dirinya, baru dia mencari kuncinya untuk mendekat
kepada Allah Swt. Saat sudah berhasil terkadang lupa lagi pada Allah.
Wajar-wajar saja karena kita tingkatannya orang awam, allahumma ma'lum,
salah 3 dapatnya 7, salah 5 dapat(nilai)nya masih 8.
Tapi kalau
tingkatan para wali Allah, benar semua malah dapatnya nol. Kenapa,
karena tidak merasa. Apa yang telah dikerjakan tidak ke pribadi,
melainkan dikembalikan semua dari dan kepada Allah Swt. Tidak merasa
memiliki. Kalau menghadap kepada Allah Swt., ia melupakan semua yang
sudah dibacanya, sudah dapat sekian khataman setiap malamnya, berdzikir
sekian ribu kali. Beliau (wali Allah) tidak pernah mengingat-ingatnya di
hadapan Allah Swt. Itu semata-semata ketaatan kepada Allah Swt.
Saat mendapatkan ijazah 'Bismillah' (misalnya) dari seorang kiai, dibaca
sekian kali agar usahanya lancar, tokonya laris, rejekinya banyak,
untungnya banyak, dlsb. Ketika dibaca (diamalkan) yang dibayangkan
adalah usaha lancar, toko laris, rejeki dan untung yang banyak, ia lupa
kepada Allah Swt. karena yang diingat adalah khasiatnya Bismillah (bukan
Allah). Akhirnya mampir dulu, sehingga pantas jika tidak diberi
langsung. Jika hatinya lepas (dari hal tersebut) dan betul-betul hanya
ingat Allah, maka pasti akan diberi langsung.
Para wali Allah
akan malu jika melakukan hal demikian. Para wali di hadapan Allah Swt.
itu faqir, tidak merasa punya amaliah kebaikan sedikit pun dan tidak
pula merasa bisa begini dan begitu. Hatinya selalu dibersihkan,
tashfiyatul qulub watazkiyatun nufus, terus berusaha (bermujahadah)
setiap malamnya.
Nah kalau tingkatan kita (awam), boro-boro.
Alhamdulillah ada hadits Baginda Nabi Saw., "Kelak manusia akan
dikumpulkan dengan orang-orang yang dicintainya." Kita bisa berdoa,
"Allahumma amin". Semoga dikumpulkan bersama beliau, setiap shalat kita
membaca "Ihdinasshirathal mustaqim". Dan berdoa (QS. an-Nisa ayat
69-70):
مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ
النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ ۚ وَحَسُنَ
أُولَٰئِكَ رَفِيقًا
ذَٰلِكَ الْفَضْلُ مِنَ اللَّهِ ۚ وَكَفَىٰ بِاللَّهِ عَلِيمًا
ذَٰلِكَ الْفَضْلُ مِنَ اللَّهِ ۚ وَكَفَىٰ بِاللَّهِ عَلِيمًا
Kunci yang pertama taat kepada dua orangtua, ini tangga/pintu yang
paling luar biasa. Yang kedua adalah taat kepada guru. Taat kepada dua
orangtua bukan sekadar taat-taat saja. Tapi ketaatan itu selalu
menggugah kembali jasa-jasa orangtua kita pada diri kita. Kalau kita
sering dzikrul walidain, mengingat dua orangtua, nasihatnya, bahkan jika
sempat ditulis. Itu merupakan bagian dari dzikrul walidain, taat kepada
dua orangtua. Karena dengan menceritakan kedua orangtua akan
menambahkan kecintaan kepada mereka.
Nah bagaimana kalau Baginda
Nabi Saw. Kalau kita sering membaca shalawat, otomatis akan semakin
"dzikrun Nabiy" (mengingat Nabi), dan lama-lama akan muncul haya', malu
kepada Baginda Nabi Saw.
Sifat manusiawi, timbul perasaan luar
biasa jika cintanya kepada lawan jenis diterima. Dia akan menjaga
cintanya betul-betul dan berusaha selalu jujur. Sangat takut putus
cinta. Padahal diterimanya cinta tersebut dari lawan jenis tidak menjadi
jaminan selamat dari siksa neraka. Tapi kepada dan dari Baginda Nabi
Saw. itu menjadi jaminan, illa man aba (kecuali yang enggan/lari).
Ketika ayat turun, "Walasaufa yu'thika Rabbuka fatardha", Rasulullah
tidak ridha kalau salah satu ummatnya masuk ke dalam api neraka, kecuali
orang yang "aba", yang lari dari Baginda Nabi Saw. Jaminan bagi yang
cinta kepada Nabi Saw., pasti akan mendapatkannya sebagaimana permintaan
Nabi Saw. kepada Allah Swt. Anehnya, kita tidak pernah takut putus
cinta kepada Baginda Nabi Saw.
Padahal saat seseorang putus
cinta dengan lawan jenisnya, dia gandrung, bikin puisisendiri, bikin
sajak sendiri. Kalau dengar lagu-lagu yang berkenaan dengan waktu dia
bercinta dengan seseorang masih terngiang sekalipun bagi orang lain
tidak enak. Tapi orang ini senang karena lagu itu mempunyai kenangan,
dingat-ingat terus. Masa dengan Baginda Nabi Saw. tidak, aneh bin ajaib,
mestinya kita harus takut putus cinta dengan Baginda Nabi Saw.
Berangkat dari birrul walidain tadi dan berangkat dari taat kepada para
masyayikh (guru) kita, itulah kunci-kuncinya. Meskipun ilmunya sundul
langit jika dengan dua orangtuanya tidak taat, jangan diharap ilmunya
manfaat. Begitu juga kaya sekaya apapun tapi sama orangtua tidak taat,
jangan diharap dunianya barokah, bagai air yang cepat habis.
Maka
dari itu kita tadi mendengarkan keterangan bab wilayah (kewalian), kita
hanya mengambil khulashah (ringkasan) orang-orang yang diangkat oleh
Allah Swt. menjadi para waliNya, yakni dengan birrul walidain dan taat
kepada gurunya. Itulah yang menjadi sebab mengantar dirinya mendapat
"Ridhallah fi ridhal walidain". Kita kembalikan juga "Ridhallah fi ridha
rasulih", untuk ummat. Dan kita mengharapkan ridha Rasulullah Saw.,
karena apakah ridha orangtua lebih bernilai dari ridha Nabi Saw.? Untuk
bisa menggapai keridhaan Nabi Saw. harus mencapai keridhaan orangtuanya.
Baru kita akan mencapai ridha Allah Swt.
(Disampaikan oleh Maulana Habib Muhammad Luthfi bin Yahya pada Pengajian Rutin Jum'at Kliwon, 20 Januari 2017. Syaroni As syamfury).
0 Response to "Taat kepada Orang Tua dan Guru sebagai Kunci Dunia dan Akhirat"
Posting Komentar